Saatnya berkarya di hari keempat.
Peserta dibagi menjadi dua kelompok untuk mengerjakan segala hal yang berkaitan dengan dua film yang menjadi proyek percobaan bersama ini. Tugas kedua kelompok adalah mendiskusikan dan merumuskan konsep acara peluncuran, format produksi untuk extra features, kemasan fisik film secara mendetail untuk panduan produksi, serta bentuk maupun isi dari media publikasi peluncuran maupun film (poster, flyer atau postcard). Proses diskusi dan perumusan konsep tersebut tetap berdasar pada unsur tekstual maupun kontekstual dari film itu sendiri. Segala hal yang dianggap esensial dari film tersebut dicatat (tekstual) untuk diturunkan menjadi berbagai ikon maupun pernak pernik yang memiliki keterkaitan simbolik dalam kehidupan sehari-hari maupun kondisi sosial budaya (kontekstual) dengan unsur dari dalam film tersebut. Gampangnya begini, untuk Hanung Ing Larung yang memakai kebudayaan jawa sebagai latar sosialnya, telah diputuskan untuk mengambil batik sebagai ikonnya dalam pengemasan fisik film maupun media promosinya. Untuk acara peluncuran, peserta memutuskan untuk menambahkan unsur “jawa” demi memberikan atmosfer yang senada kepada penonton. Unsur tersebut harus sudah dirasakan sejak pemilihan tempat/lokasi, dekorasi dan tata cara yang diterapkan dalam peluncuran itu sendiri.
Kreatifitas peserta setelah tiga hari menyerap banyak hal, fuih! Tibatiba semua lupa pada mantra sakti: low budget dan applicable. Sebagai proyek percobaan, segala hal yang kita kerjakan bersama sekarang tentu tetap harus memikirkan bahwa hal yang sama juga bisa diaplikasikan pada proyek-proyek ke depan dari setiap peserta. Hal yang dijadikan bahan pertimbangan misalnya, apakah di sekitar teman-teman memang memungkinkan untuk mencapai tingkat artistik seperti yang diinginkan, apakah tersedia cukup waktu dan tenaga untuk mengerjakan ide-ide liar yang terlontar, apakah ada sumber dana yang bisa digali/diupayakan untuk memenuhi kebutuhan yang diciptakan sendiri ini? Masih ada segudang “apakah” lagi yang dapat dijadikan rambu-rambu, sehingga proyek ini tidak menjadi sekedar kembang api atau mercusuar, tapi benar-benar bisa dikerjakan secara mandiri setelah masa fasilitasi proyek berakhir.
Hanung Ing Larung;
Batik digunakan sebagai ikon dalam berbagai bentuk aplikasi medianya, poster, merchandise, maupun pengemasan fisik film. Peluncuran dilaksanakan di halaman taman budaya yogyakarta, kenapa? Pertama, karena karakter film yang tradisional sehingga konsep luar ruangan sepertinya menjadi pilihan yang paling tepat. Letak TBY yang berada di tengah pasar namun cukup memiliki ruang yang terpisah untuk kebutuhan setting tempat menjadikannya strategis. Kedua, ada acara lain yang akan berlangsung disana, sehingga untuk masalah pengumpulan publik, sudah sedikit dapat teratasi. Apalagi acara tersebut adalah JAFF kedua, pas kan?
Untuk membedakan dan menggiring penonton ke area Hanung, “garis penuntun” dibentuk dengan menempatkan senthir atau obor. Ada lagi? Terlontar ide untuk membawa para penjual batik yang sering menyerbu penginapan-penginapan kecil di sekitar malioboro ke area itu. Membawa penonton yang tepat dengan karakter yang tepat pula, kirakira demikian maksudnya.