Monday, August 20, 2007

Hari keempat: jangan lupakan mantra kita “Low budget + Applicable”

Saatnya berkarya di hari keempat.


Peserta dibagi menjadi dua kelompok untuk mengerjakan segala hal yang berkaitan dengan dua film yang menjadi proyek percobaan bersama ini. Tugas kedua kelompok adalah mendiskusikan dan merumuskan konsep acara peluncuran, format produksi untuk extra features, kemasan fisik film secara mendetail untuk panduan produksi, serta bentuk maupun isi dari media publikasi peluncuran maupun film (poster, flyer atau postcard). Proses diskusi dan perumusan konsep tersebut tetap berdasar pada unsur tekstual maupun kontekstual dari film itu sendiri. Segala hal yang dianggap esensial dari film tersebut dicatat (tekstual) untuk diturunkan menjadi berbagai ikon maupun pernak pernik yang memiliki keterkaitan simbolik dalam kehidupan sehari-hari maupun kondisi sosial budaya (kontekstual) dengan unsur dari dalam film tersebut. Gampangnya begini, untuk Hanung Ing Larung yang memakai kebudayaan jawa sebagai latar sosialnya, telah diputuskan untuk mengambil batik sebagai ikonnya dalam pengemasan fisik film maupun media promosinya. Untuk acara peluncuran, peserta memutuskan untuk menambahkan unsur “jawa” demi memberikan atmosfer yang senada kepada penonton. Unsur tersebut harus sudah dirasakan sejak pemilihan tempat/lokasi, dekorasi dan tata cara yang diterapkan dalam peluncuran itu sendiri.

Kreatifitas peserta setelah tiga hari menyerap banyak hal, fuih! Tibatiba semua lupa pada mantra sakti: low budget dan applicable. Sebagai proyek percobaan, segala hal yang kita kerjakan bersama sekarang tentu tetap harus memikirkan bahwa hal yang sama juga bisa diaplikasikan pada proyek-proyek ke depan dari setiap peserta. Hal yang dijadikan bahan pertimbangan misalnya, apakah di sekitar teman-teman memang memungkinkan untuk mencapai tingkat artistik seperti yang diinginkan, apakah tersedia cukup waktu dan tenaga untuk mengerjakan ide-ide liar yang terlontar, apakah ada sumber dana yang bisa digali/diupayakan untuk memenuhi kebutuhan yang diciptakan sendiri ini? Masih ada segudang “apakah” lagi yang dapat dijadikan rambu-rambu, sehingga proyek ini tidak menjadi sekedar kembang api atau mercusuar, tapi benar-benar bisa dikerjakan secara mandiri setelah masa fasilitasi proyek berakhir.

Hanung Ing Larung;

Batik digunakan sebagai ikon dalam berbagai bentuk aplikasi medianya, poster, merchandise, maupun pengemasan fisik film. Peluncuran dilaksanakan di halaman taman budaya yogyakarta, kenapa? Pertama, karena karakter film yang tradisional sehingga konsep luar ruangan sepertinya menjadi pilihan yang paling tepat. Letak TBY yang berada di tengah pasar namun cukup memiliki ruang yang terpisah untuk kebutuhan setting tempat menjadikannya strategis. Kedua, ada acara lain yang akan berlangsung disana, sehingga untuk masalah pengumpulan publik, sudah sedikit dapat teratasi. Apalagi acara tersebut adalah JAFF kedua, pas kan?

Untuk membedakan dan menggiring penonton ke area Hanung, “garis penuntun” dibentuk dengan menempatkan senthir atau obor. Ada lagi? Terlontar ide untuk membawa para penjual batik yang sering menyerbu penginapan-penginapan kecil di sekitar malioboro ke area itu. Membawa penonton yang tepat dengan karakter yang tepat pula, kirakira demikian maksudnya.


Mengenal ikon film Hanung ing larung dan Sial di hari ketiga

Hari ketiga ini peserta workshop diberi tugas untuk belajar mencari ikon film Hanung ing Larung (Herry Sasongko) dan Sial (Bambang ipung). Ikon film adalah suatu simbol atau gambaran paling menarik yang dapat mewakili dari sebuah film. Meski demikian, ikon yang akan dipakai untuk cover film jangan sampai menggambarkan inti cerita (spoiler). Ikon dapat berupa permainan warna dan font, atau unsur kecil yang menjiwai seluruh film, yang penting adalah ia memiliki daya jual dan mencuri perhatian target kita, yaitu penonton atau kolektor film.

Setelah ikon, hal yang penting untuk dibicarakan adalah merchandise, sebagai media (pelengkap) publikasi. Ada merchant yang dikeluarkan sebelum film diputar dan ada pula setelah film diputar. Sifat merchant pra launching sama seperti ketika kita mengerjakan aplikasi cover dan publikasi, yaitu konsep mengenalkan sebuah film terhadap audiens. Poster adalah kasus yang berbeda. Ia merupakan salah satu media aplikasi awal untuk publikasi, namun tidak berhenti ketika melihat media promo dan selesai, ia juga dapat berbicara tentang proses pengembangannya melalui sebuah ikon dan merchant yang cukup mewakili.

Herrysas (Sutradara; Hanung ing Larung) akan membatu menjelaskan tentang bagaimana konsep batik yanga diaplikasikan sebagai ikon dalam filmnya. Kemudian peserta diminta untuk membawa ide masing-masing tentang font, permainan warna dan hal mana yang akan diambil sebagai ikon. Ide mengusung film anak sebenarnya lebih menjual dibanding film remaja atau dewasa karena (konotasi) bahwa anak pasti tidak akan menonton sendiri. Keseragaman ide muncul dari, Hanung dengan bunuh diri dan Sial dengan rambu sebagai narasi. Ketika kata Sial tidak ada rambu untuk mewakili, peserta kemudian berusaha menerjemahkan Sial dengan rambu sendiri dengan cara mengembangkan dasar rambu atau sign yang sudah ada.

Jika Hanung memiliki isi film dan cara penyampaian yang selaras, tidak demikian dengan Sial yang menggunakan rambu. Bagaimana mencari ikon dari film Sial yang sudah lebih dulu bermain dengan rambu sebagai sarana penyampai pesannya? Pilihan yang tersedia adalah bermain dengan warna dan jenis huruf (font). Warna kuning dalam konvensi rambu lalu lintas mewakili peringatan, merah larangan dan biru adalah informasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka hadirlah ikon Sial seperti yang ada sekarang.



Selesai dengan ikon, peserta diajak masuk ke topik launching. Prolog mengenai peluncuran suatu produk apapun itu, baik seni maupun bukan, sebagai media sosialisasi yang menggebrak. Itu sebabnya, logika sebuah acara peluncuran (launching event) adalah memunculkan kesan produk ke dalam acara tersebut. Untuk teknisnya, dapat dimulai dari mendata apa saja yang dibutuhkan dalam sebuah peluncuran; ragam penonton, karakter tempat, program dan konsep acara peluncuran itu sendiri.

Pr bersama untuk besok adalah bagaimana menyusun strategi untuk Hanung dan Sial dalam sesi produksi dan distribusi. Sesuai dengan materi yang telah diterima, peserta ditantang untuk bersamasama membuat extra features.

Wednesday, July 4, 2007

contoh pengemasan dari peserta dengan film Hanung Ing Larung


pemberian tulisan judul film di sisi kotak membantu kolektor mencari film yang mereka inginkan


Gentur, GVD, sedang memberikan penjelasan dan contoh pengemasan film




cerita di hari kedua

Workshop hari kedua masih dengan Gentur dari GVD, materi meliputi ikon, desain, dan packaging. Di awal acara peserta menonton film À L’abri des Regards Indiscrets, memberi pandangan baru bagi peserta bahwa extra feature pun bisa menjadi materi menarik untuk dilihat sebagai bagian dari keseluruhan film yang ditonton.
Setelah menonton, Gentur membuka diskusi dengan memberikan ulasan singkat tentang pengemasan dari sisi pewarnaan. Pengemasan hitam putih pun bisa sangat menarik apabila di dukung dengan desain yang sifatnya ikonik, meskipun pengemasan dengan warna jelas memiliki keunggulan tersendiri, ia akan lebih menarik dan lebih mudah memunculkan ikon-ikon yang dibawa dari film bersangkutan. Gentur menjelaskan tentang ikon film, apa yang dimaksud dengan ikon film, bagaimana mendapatkan ikon yang tepat, dan fungsi ikon untuk distribusi dan labelisasi film.
Mengambil contoh film Hanung Ing Larung, kisah seorang anak bernama Hanung yang hidup bersama bapaknya, pengangguran yang sering melakukan kekerasan domestik dan ibu yang bekerja sebagai buruh penambang pasir. Dari film ini, Maka kain batik dari kostum ibu Hanung bisa jadi perwakilaan dari tema film yang bernuasa drama melankolis ini: batik yang sudah lusuh identik dengan sosok perempuan yang mengenakannya, perempuan desa yang sederhana, kemudian diberi sentuhan dengan noda – noda pasir yang melekat seakan menyatakan bahwa orang yang memakainya adalah pekerja keras. Batik lusuh yang bernodakan pasir seakan mewakili film Hanung Ing Larung karena keseluruhan film ini menampilkan jalan cerita dan setting film yang pahit, suram, dan penuh perjuangan.
Masalah pengemasan, penekanannya lebih pada bentuk kemas yang simpel dan desain yang menarik (seperti yang sudah dibahas di awal). Misalnya saja bentuk kotak persegi panjang, identik dengan kemasan film pada umumnya dengan alasan kemudahan penyimpanan di rak bagi kolektor. Kemudian dengan selimut sorong karena bisa berfungsi sebagai pelingdung kotak kepingan dan mudah mengerti tentang gambaran isi cerita film dari desain belakang dan ikon film di depan bisa lebih tampil maksimal karena bidang yang cukup luas.

Tuesday, July 3, 2007


agenda pertama workshop kemas, menonton film...